Rabu, 25 November 2015

Penulis dan Kitabnya | Nuruddin Ar Raniri dan Kitab Sirat Al-Mustakim

Nuruddin Ar Raniri dan Kitab Sirat Al-Mustakim 


BIOGRAFI SINGKAT PENULIS

•    Nama    : Nuruddin Ar Raniri bin Ali bin Hasanji bin M. Hamid Al khuraisi Al Syafi’i
•    Tempat Lahir     : Ranir (Rander) Gujarat/India
•    Guru-gurunya : Syeh Said Abu Hafes Umar bin Abullah Ba Syaiban (Syaikh tarikat Rifa’iyah)
•    Riwayat Perjalanan : Gujarat, Tarim(Kota di Hadramaut), Mekah(1030 H / 1621M), Aceh(1047H / 1637M), Pahang(1054H / 1644M), Rander(1069H / 1658M).

 Nama Kitab         : Sirat Al-Mustakim (Jalan yang Lurus)
 Jenis            : Kitab Fiqih.
 Kitab Peranakan     : Sabil al-Muhtadin (Karya Muhammad Arsyad Al-Banjari)
 Kandungan Kitab     : Rukun Islam (Shalat, Puasa, Zakat, Haji,) dll.
 Bab     : Kitab Taharah, Kitab Sembahyang, Kitab Hukum Zakat, Kitab Hukum Puasa, Kitab Hukum Haji, Kitab Hukum Perburuan dan Penyembelihannya, dan Kitab Hukum Segala Makanan yang Halal dan Haram.

1.    Kitab Taharah (segala najis dan menghilangkannya, air sembahyang, segala yang mewajibkan mandi, tayamum, haid dan nifas).
2.    Kitab Sembahyang (waktu dan syarat sembahyang, shalat orang musafir, shalat jumat, shalat dalam ketakutan, shalat gerhana matahari dan bulan, shalat meminta hujan dan hukum jenazah).
3.    Kitab Hukum Zakat (zakat binatang, zakat tumbuh-tumbuhan, zakat emas dan perak).
4.    Kitab Hukum Puasa (segala yang wajib berpuasa, kifarat jimak, fidiyah, dan iktikaf).
5.    Kitab Hukum Haji (rukun haji dan umrah [ihram, tawaf, sai, wukuf, tahlil dsb], akidah).
6.    Kitab Hukum Perburuan dan penyembelihannya .
7.    Kitab Hukum segala Makanan yang halal dan haram.

Karya-karya Besar Syeikh Nurruddin Ar-Raniri :

1.Kitab Al-Shirath al-Mustaqim (1634)
2. Kitab Durrat al-faraid bi Syarh al-‘Aqaid an Nasafiyah (1635)
3. Kitab Hidayat al-habib fi al Targhib wa’l-Tarhib (1635)
4. Kitab Bustanus al-Shalathin fi dzikr al-Awwalin Wa’l-Akhirin (1638)
5. Kitab Nubdzah fi da’wa al-zhill ma’a shahibihi 6. Kitab Latha’if al-Asrar
7. Kitab Asral an-Insan fi Ma’rifat al-Ruh wa al-Rahman
8. Kitab Tibyan fi ma’rifat al-Adyan
9. Kitab Akhbar al-Akhirah fi Ahwal al-Qiyamah
10. Kitab Hill al-Zhill
11. Kitab Ma’u’l Hayat li Ahl al-Mamat
12. Kitab Jawahir al-‘ulum fi Kasyfi’l-Ma’lum
13. Kitab Aina’l-‘Alam qabl an Yukhlaq
14. Kitab Syifa’u’l-Qulub
15. Kitab Hujjat al-Shiddiq li daf’I al-Zindiq
16. Kitab Al-Fat-hu’l-Mubin ‘a’l-Mulhiddin
17. Kitab Al-Lama’an fi Takfir Man Qala bi Khalg al-Qur-an
18. Kitab Shawarim al- Shiddiq li Qath’I al-Zindiq
19. Kitab Rahiq al-Muhammadiyyah fi Thariq al-Shufiyyah.
20. Kitab Ba’du Khalg al-samawat wa’l-Ardh
21. Kitab Kaifiyat al-Shalat
22. Kitab Hidayat al-Iman bi Fadhli’l-Manaan
23. Kitab ‘Aqa’id al-Shufiyyat al-Muwahhiddin
24. Kitab ‘Alaqat Allah bi’l-‘Alam
25. Kitab Al-Fat-hu’l-Wadud fi Bayan Wahdat al-Wujud
26. Kitab ‘Ain al-Jawad fi Bayan Wahdat al-Wujud
27. Kitab Awdhah al-Sabil wa’l-Dalil laisal li Abathil al-Mulhiddin Ta’wil
28. Kitab Awdhah al-Sabil laisan li Abathil al-Mulhiddin Ta’wil.
29. Kitab Syadar al-Mazid

Kitab Sirat Al-Mustakim karya Nuruddin Ar-Raniri termasuk kedalam karya sastra era melayu klasik. Karena pada zamannya dulu, kitab-kitab termasuk karya sastra. Karya sastra pada zaman dahulu dengan karya sastra pada zaman sekarang memiliki pemahaman yang berbeda, karya sastra jaman sekarang cenderung bersifat fiktif dan imajinatif seperti puisi, cerpen, novel, dll sedangkan contoh karya sastra zaman dahulu berupa kitab dan hal-hal lain yang dianggap tidak memiliki nilai seni dalam sastra karena berisi sesuatu hal yang berisi hal yang fakta, nyata, dan pernah terjadi. Padahal jika ditelaah lagi pengertian sastra sebenarnya adalah sesuatu yang ditulis  jadi bukan menjadi masalah jika kitab-kitab memang termasuk dalam karya sastra melayu klasik.

Analisis Puisi | Hanya Tuhan Kulihat

HANYA TUHAN KULIHAT
                            -Puisi Baba Kuhi

Di pasar, di biara -- hanya Tuhan kulihat.
Di lembah dan gunung -- hanya Tuhan kulihat.
Sering ia terlihat di sampingku dalam bencana.
Dalam senang dan keberuntungan -- hanya Tuhan kulihat.
Waktu berdoa dan puasa, waktu sembahyang dan tafakkur,
Dalam agama Rasulullah -- hanya Tuhan kulihat.
Bukan jiwa atau tubuh, bukan kejadian atau hakekat,
Bukan sifat atau sebab, -- hanya Tuhan kulihat.
Kubuka mata dan dengan sinar wajah-Nya di sekelilingku
Yang terjumpa mata dalam segala -- hanya Tuhan kulihat.
Seperti lilin aku lebur dalam nyala-Nya
Dalam kepungan api berkobar -- hanya Tuhan kulihat.
Kulihat jelas dengan mata diriku
Namun bila kulihat dengan mata Tuhan -- hanya Tuhan kulihat.


Puisi yang berjudul “HANYA TUHAN KULIHAT” ini membawa tema religi atau keagamaan karena dapat tertulis jelas dalam tiap barisnya bahwa si penulis mengagungkan dan sangat menghormati Tuhannya itu. Puisi ini bercerita tentang seorang hamba yang mencintai, menghormati, juga mengagungkan Tuhannya yang selalu ia lihat dimanapun ia berada, puisi ini juga mengungkapkan rasa syukur si penulis karena Tuhannya selalu ada dimanapun ia berada, dan melihat apapun yang ia lakukan. Ia percaya bahwa Tuhannya selalu ada disampingnya dan selalu ada untuknya sehingga ia menjadi seorang hamba yang taat dan patuh dengan Tuhannya karena ke Esa-an Tuhannya itu. Penulis benar-benar mengagungkan Tuhannya dalam puisi ini. Rasa syukur, cinta, dan hormatnya tertulis jelas dalam tiap baris puisi diatas.

Syamsuddin | Sastrawan Melayu Klasik

Syamsuddin Al-Sumatrani

    Saya tidak banyak tahu tentang riwayat hidup Syamsuddin Al-Sumatrani. Hanya saja dari kitab seperti Bustanus Salatin dan Hikayat Aceh serta catatan orang Eropa yang mengunjungi Aceh pada akhir abad ke-16 dan permulaan abad ke-17 kita ketahui bahwa syamsuddin adalah seorang tokoh yang sangat penting di tanah Aceh. Hikayat Aceh menulis bahwa, semasa Sultan Alauddin Ri’ayat Syah (1589-1604) kakek Iskandar Muda mengadakan (1606-1636), Syamsuddin adalah diantara pembesar Aceh yang hadir. Frederick de Houtman, pembuat daftar kata-kata Melayu-Belanda yang pertama berkata bahwa Ia pernah bertemu dengan seorangg Syaikh, penasihat agung diraja semasa mengunjungi Aceh pada tahun 1599. Sir James Lancaster, utusan Ratu Elizabeth juga pernah berunding dan menandatangani perjanjian dagang dengan seorang “Bishop”, Kadi Malik al-Adil pada tahun 1602.
    Menurut C.A.O Van Nieuwenhuijze yang pernah mengakji hasil karya Syamsuddin untuk mencapai gelar Doktor Sastranya di Universitas Leiden (1945), Syaikh dan “Bishop” atau Kadi yang dimaksud ialah Syamsuddin Al-Sumantrani. Seterusnya Van Nieuwenhuijze mengatakan bahwa peranan yang dimainkan Syamsuddin di Aceh adalah sama dengan peranan yang dimainkan dua orang penasihat Raja Monghol Akbar di India, yaitu Faidi dan Abdul Fadi, dengan demikian kita dapat membayangkan bhawa semasa pemerintahan Sultan Iskandar Muda Mahkota Alam (1606-1636), Syamsuddin adalah seorang ulama yang besar pengaruhnya muridnya juga banyak sekali, akan tetapi ketika Sultan Iskandar Thani (1636-1641) naik tahta dan Nuruddin Ar-Raniri mendapat sokongan dari Sultan, pengaruh Syamsuddin pun susut. Buku-bukunya juga dibakar, karena dianggap mengandung ajaran yang menyesatkan. Pada tahun 1630, Syamsuddin pun berpulang ke rahmatullah, sejurus selepas angkatan Aceh dikalahkan oleh Malaka.
    Karena pembakaran yan dilakukan atas perintah Sultan Aceh itu, hasil karya Syamsuddin yang sampai kepada kita sedikit sekali dan kebnayakan merupakan fragmen yang tidak lengkap. Diantaranya ialah Mir’at al-Mu’Min (cermin orang yang beriman), naskah ini berupa tanya jawab tentang kepercayaan Islam dan menurut Werndly mengandung 211 pertanyaan, tetapi naskah Leiden (Cod. Or.1700) hanya mengandung 95 pertanyaan saja di dalamnya dibicarakan sifat dan wujud Allah, syahadat, tauhid, makrifat, iman, dan Islam. Pembicaraan tentang iman yang paling panjang dan meliputi percaya kepada Malaikat, Rasul, dan Anabia, kitab, hari kiamat dan kebnagkitan.
    Satu lagi hasil karya yang sampai kepada kita ialah Kitab Mir’at al-Muhaqqiqin. Menurut naskah1332, di Leiden, Cod. Or. Kitab ini disusun atas perintah Marhum Mahkota Alam. Bagian permulaan dan bagian akhir naskah ini sudah hilang. Naskah ini rupa-rupanya adalah himpunan risalah yang ditulis Syamsuddin. Di antara risalah yang disebut judulnya ialah Kitab cd-Haraka, Mir’at al-Qulubu, Nur al-Daqa’ik dan Usul Tahqik. Isinya tentang makrifat Allah, hubungan sifat dan zat, jenis-jenis zikir, martabat, terutama martabat tujuh diberi uraian yang panjang lebar.
    Di samping menulis dalam bahasa Melayu, Syamsuddin juga menulis dalam bahasa Arab. C.A.O. Van Nieuwenhuijze telah membaca semua naskah hasil karya Syamsuddin, baik dalam bahasa Arab, mauapun bahasa Melayu untuk gelar Doktor sastranya di Universitas Leiden. Menurut Nieuwenhuijze. Ajaran syamsuddin dapat dirumuskan sebagai berikut.

1)    Allah
a.    Allah adalah tuhan yang menampakkan dirinya melalui rasulNya dan kitabNya. Ia adalah tuhan yang harus dipuji seluruh umat
b.    Zat. Zat adalah wujudkan terikat Allah yang diluar kemampuan manusia untuk memikirkan. Wujud “Allah ta’ala kadim dan baka. Bukan ia baru, bukan ia ard dan bukan ia jism dan tiada dapat dikatakan tetap pada suatu tempat dan tidak dapat dilihat dengan mata dan sesungguhnya ia Esa”
c.    Hubungan zat dan sifat. Sifat itu tiada lain daripada zat Allah ta’ala. Sifat itu zat, zat itu sifat yakni sifat dua puluh. Dan  di dalam sifat dua puluh itulah terhimpun sekalian martabat idafi
d.    Sifat-sifat dua puluh dibagi menjadi tiga
o    sifat salabiya atau nafsiya adalah sifat menolak apa yang tidak layak bagi Allah. Ada lima sifat yakni Wujud, Qidam, Baqo’, Mukhalafatu lil hawadisi, Qiyamuhu binafsihi
o    -sifat ma’ani adalah sifat yang diwajibkan bagi zat Allah suatu hokum atau sifat yang pasti ada Dzat Allah. Sifat ini terdiri dari tujuh sifat, Qudrat, Iradah, Ilmu, Hayaht, Sama’,Bashar, dan kalam
o    -sifat ma’nawiyah adalah sifat mulazimah atau menjadi akibat dari sifat ma’ani. Sifat terdiri dari tujuh sifat yakni kkaunuhu Qadiran, Kaunuhu Muridan, Kaunuhu Aliman, Kaunuhu Hayyan, Kaunuhu Sami’an, Kaunuhu Bashiran,
    2)    Muhammad. Dalam ajaran martabat tujuh Muhammad tetap diberi tempat. Ahadiya merupakan tempat wujud mula, wahda diisi hakikat al-Nabi, wahidiya merupakn tipe mula dari gejala dunia termasuk hakikat al-insan. Dalam makrifat proses kejadian dunia ini terdiri tiga tingkat yaitu Tuhan, Sabda, dan Dunia
    3)     Ajaran Wujud : martabat tujuh. Ajaran wujud diterangkan dalam martabat tujuh. Martabat tujuh adalah ahadiya, wahda, wahidiya, alam al-arwah, alam al-amsal, alam al-jasam dan alam al-insan. Ketiga martabat yang pertama ialah ahadiya,wahda,wahidiya itu kadim. Baka artinya kekal. Keempat martabat lain muhdath artinya baru diciptakan.
    4)    Keesaan Wujud. Kaum wujudiyah missal syamsuddin, member tafsiran lain kepada kalimat syahadat yang berbunyi la ilaha illallah (tiada tuhan melainkan Allah) yaitu tiada wujudku hanya wujud Allah

Beberapa Kitab Karangan Syamsuddin Al-Sumatrani
1)    Jawhar al-Haqa’iq
Kitab ini menggunakan bahasa arab, kita Jawhar al-Haqa’iq merupakan karyanya yang paling lengkap yang telah disunting oleh Van Nieuwenhuijze. Kitab ini menyajikan pengajaran tentang martabat tujuh dan jalan untuk mendekatkan diri kepada Tuhan.
2)    Risalah Tubayyin Mulahazat al-Muwahhidin wa al-Mulhidin fi Dzikr Allah
Kitab ini menggunakan bahasa arab, karya yang telah disunting oleh Van Nieuwenhuijze ini, kendati relative singkat, cukup penting karena mengandung penjelasan tentang perbedaan pandangan antara kaum yang mulhid dengan yang bukan mulhid.
3)    Mir’at al-Mu’minin
Kitab ini menggunakan bahasa melayu, karya ini menjelaskan tentang ajaran keimanan kepada Allah, para rasul-nya, kitab-kitab-Nya, para Malaikat-Nya, hari akhirat-Nya, dan kadar-Nya. Jadi pengajarannya dalam karya ini membicarakan butir-butir akidah, sejalan dengan paham Ahlus Sunnah wal Jama’ah (Asy’ariah-Sanusiah).
4)    Syarah Ruba’I Hamzah Fansuri
Kitab ini menggunakan bahasa melayu, karya ini merupakan ulasan 39 bait (156 baris) syair Hamzah Fansuri, isinya antara lain menjelaskan kesatuan wujud (wahdat al-wujud).
5)    Syarah Sya’ir Ikan Tongkol
Kitab ini menggunakan bahasa melayu, karya ini merupakan ulasan  (syarh) terhadap 48 baris sya’ir Hamzah Fansuri yang mengupas soal Nur Muhammad dan cara untuk mencapai fana di alam Allah.
6)    Nur al-Daqa’iq
Kitab ini menggunakan bahasa melayu, karya tulis yang sudah ditranskip oleh AH. Johns ini (1953) mengandung pembicaraan tentang rahasia ilmu makrifah (martabat tujuh).
7)    Thariq al-Salikin
Kitab ini menggunakan bahasa melayu, karya ini mengandung penjelasan tentang sejumlah istilah, seperti wujud, adam, haqq, bathil, wajib, mukmin, mumtani.
8)    Mir’at al-Iman/Kitab Bahr al-Nur
Kitab ini menggunakan bahasa melayu, karya ini brebicara tentang ma’rifah, martabat tujuh dan tentang ruh.
9)    Kitab al-Harakah
Kitab ini menggunakan bahasa arab dan bahasa melayu. Karya ini berbicara tentang ma’rifah atau martabat tujuh.

Analisis Puisi Melayu | Hamzah Fansuri

SENDIRI DENGAN KEKASIH
Puisi Hamzah Fansuri

Sendiri daku bersama cintaku
Waktu rahasia yang lebih lembut dari udara petang
Lintas dan Penglihatan Batin
Melimpahkan karunianya atas doaku
Memahkotaiku, higga enyahlah yang lain, sirna
Antara takjub atas Keindahan dan Keagungan-Nya
Dalam semerbak tiada tara
Aku berdiri dalam asyik masyuk yang bisu
Kusaksikan yang datang dan pergi dalam kalbu
Lihat, dalam wajah-Nya
Tercampur segenap pesona dan karunia
Seluruh keindahan menyatu
Dalam wajah-Nya yang sempurna
Lihat Dia, yang akan berkata
“Tiada Tuhan selain Dia
Dan Dialah yang paling mulia.”


Makna puisi Sendiri dengan Kekasih

Dari kesan awal saat membaca judul puisi ini maka orang akan berfikir puisi  ini mengandung makna perjalanan kisah cinta seseorang dengan kekasihnya. Pada judul ini bisa dikatakan seperti itu namun, apa bila kita cermati setelah kita membaca secara keseluruhan puisi ini maka judul Sendiri dengan Kekasih artinya adalah waktu yang khusus diberikan penulis untuk Kekasihnya, kekasih yang dimaksud disini adalah Tuhan. Mengapa demikian? Jika kita ingat dari awal puisi karya Hamzah Fansuri merupakan puisi-puisi sufi yang mengandung pesan moral keagamaan, maka dari itu tema dari puisi ini adalah keagamaan. Berikut penjelasan puisi ini jika diartikan per barisnya.

Sendiri daku bersama cintaku => Sendiri aku bersama cintaku (cinta kepada Tuhan yang disembah)
Waktu rahasia yang lebih lembut dari udara petang => Waktu yang ia gunakan saat menghadap kepada Tuhan (Sembahyang), dalam bait ini kami mengartikan bahwa penulis sedang menunaikan ibadah sholat magrib karena terdapat kata-kata lebih lembut dari udara petang
Lintas dan Penglihatan Batin => Perasaan khusyuk yang dirasakan oleh penulis saat berkomunikasi dengan Tuhan saat sembahyang tersebut
Melimpahkan karunianya atas doaku => Melimpahkan karunia yang tiada tara kepada penulis (mengabulkan doa yang telah ia panjatkan)
Memahkotaiku, higga enyahlah yang lain, sirna => Memberikan kenikmatan yang sangat berlimpah hingga ia lupa akan segala yang ada dan ingin selalu taat untuk menunaikan segalayang diperintahkan.
Antara takjub atas Keindahan dan Keagungan-Nya => Merasa kagum atas segala sesuatu yang Tuhan ciptakan di dunia.
Dalam semerbak tiada tara => Penulis sangat bersyukur atas limpahan yang Tuhan berikan di dunia ini.
Aku berdiri dalam asyik masyuk yang bisu => ia berdiri dalam diam, hanya ada suara hati yang ia gunakan untuk berkomunikasi dengan Tuhan (Sembahyang)

Kusaksikan yang datang dan pergi dalam kalbu => Dia menyimak (melihat) apa yang dikorbankan dan apa yang akan didapatkan atas pengorbanan tersebut.
Lihat, dalam wajah-Nya => Ia berdoa atau bersembahyang dengan sepenuh hati seolah terdapat sesuatu yang ia sembah didepannya dan itu Tuhan
Tercampur segenap pesona dan karunia => Keindahan dan Karunia yang telah Tuhan berikan memadu menjadi suatu kenikmatan yang tidak ternilai
Seluruh keindahan menyatu => Baris ini mengandung arti yang berkaitan dengan baris yang berada diatasnya.
Dalam wajah-Nya yang sempurna => Dalam kekhusyukan yang ia rasakan seolah dapat melihat Tuhan yang ia sembah.
Bait ini berkaitan artinya dengan bait sebelumnya, arti sudah tersirat dalam arti baris sebelumnya.
Lihat Dia, yang akan berkata => Dalam doa penulis seolah tersirat tidak ada Tuhan yang ia sembah kecuali Tuhannya.
“Tiada Tuhan selain Dia
Dan Dialah yang paling mulia.”
1.    Diksi
Pemilihan kata pada puisi ini tidak pada makna sesungguhnya melainkan menggunakan kalimat kiasan dan juga majas, sesuai dengan tema yang akan disampaikan oleh penulis melalui kiasan-kiasan dalam puisi ini.
2.    Citraan

citraan    Baris yang mengandung citraan      
Penglihatan    ·    Antara takjub atas keindahan dan keagungan-Nya
·    Kusaksikanyang datang dan pergi dalam hatiku
·    Lihat, dalam wajah-Nya
·    Dalam wajah-Nya yang sempurna
·    Lihat Dia, yang akan berkata
·    Seluruh keindahan menyatu
·    Lintas dan penglihatan batin      
Pendengaran    ·    “Tiada Tuhan selain Dia dan Dialah yang paling mulia”      
Gerak    ·    Aku berdiri dalam asyik masyuk yang bisu
·    Memahkotaiku, hingga enyahlah yang lain,sirna      
Perasaan    ·    Sendiri daku bersama cintaku
·    Waktu rahasia yang lebih lembut dari udara petang
·    Tercampur segenap pesona dan karunia
·    Melimpahkan karunianya  atas doaku
      
Penciuman    ·    Dalam semerbak tiada tara   

Selasa, 24 November 2015

Perjalanan Pencerahan Musik Teknologis |

Perjalanan Pencerahan Musik Teknologis 
Musik adalah sesuatu yang terus berjalan menemukan variasi-variasinya setiap hari. Nyaris tidak ada ukuran pasti kapan musik menjadi sebuah hiburan, kapan pula harus dimaknai sebagai seni, dan apa sebenarnya kaitan antara musik dan nasib kehidupan manusia jika kita memahami musik itu sebagai sebuah pendidikan bahkan kebudayaan.
Keluar dari berbagai dialektika perjalanan sejarah, teknologi sebagai nutrisi peradaban terus muncul dan inovatif dari detik ke zaman, menyambut kebutuhan manusia, baik sifatnya yang mepermudah, mempersulit hingga yang menjadikannya peluru untuk menipu. Sekarang adalah waktu yang tepat untuk mengkaji sejarah sekaligua memprediksi berbagai kemungkinan terbaik dan ternaif di depan mata.
Pemisalan sederhana bagi kemudahan teknologi tersebut,  jika dulu orang merekam permainan gitar mutlak harus di studio, sekarang bisa di mana saja berkat sebuah teknologi mungil bernama USB gitar link. Tinggal dicolok ke laptop, lalu siap rekam.
Teknologi musik berhasil membuat orang stres, memandang komputer seharian untuk coding (melakukan pemrogaman), menciptakan bunyi-bunyi sintesis secara mandiri. Teknologi musik juga telah berhasil menciptakan era sampah yang menjadikan musik tidak memiliki derajat sama sekali. Jerih payahnya di dalam musilk tak perlu diungkit ketika itu semua sudah tersebar di internet. Bisa diunduh dengan geratis.
Kontes musik murahan yang mengabdi pada pertunjukan semu tak ubahnya kedok dari hegemoni ekonomi-politik yang menyurutkan nilai-nilai sejati, mengikis keluhuran akal budi, serta merampas esensi kemanusiaan yang berdampak redupnya pemaknaan akan seni.
Perjalanan industri musik Indonesia misalnya, selama sedikitnya tujuh dekade di tujuh jenis kepemimpinan ini telah menghasilkan kerugian material yang tidak sebanding dengan kualitas hasil karya. Tidak bisa diharapkan untuk mendukung Negara dan Bangsa  ini menjadi citra bersama dari kebersamaan kebudayaannya. Dan negara juga dipertanyakan peran sertanya bagi masa depan musik.
Hal ini sangat jelas ditandai dengan tidak adanya lagi ruang bagi musik untuk anak-anak. Tidak ada proteksi bagi hiburan-hiburan musik yang muncul di televisi. Yang ada hanya tontonan dewasa yang ditonton anak-anak. Sehingga prilaku anak sekarang adalah copy-paste dari para orang tuanya yang setiap hari mengkonsumsi televisi. Apakah negara tidak mampu bermaksud baik kepada masa depan anak-anak? Serius, hal ini merupakan dosa yang terlanjur larut.
Pada abad ke-21 ini, di mana setiap orang berlomba menemukan keasyikannya sendiri melalui teknologi (musik) yang beredar, muncul skeptisme baru terhadap masa depan kemanusiaan. Pendidikan musik formal dalam ukuran tingkat akademis juga belum bersimbiosis terhadap kebutuhan akan musik sebagai pencerah kondisi Bangsa. Yang sering terjadi adalah proyek-proyek yang menguntungkan kelompok atau induvidu dari jaringan tertentu yang kurang memedulikan nasib generasi selanjutnya.
Musik digiring menjadi bagian dari industri kreatif sambi lalu. Jadi apa yang diperjuangkan negara ini mengenai kebudayaan? Apakah pilar-pilar kebudayaan harus selalu disertai permainan ekonomi-politis, atau kita bisa bekerja secara mandiri tanpa harus bergantung apa-apa kecuali niat yang tulus pada komitmen naluri dan nurani masing masing? Musik adalah barang sepele, tetapi sudah banyak yang percaya kekuatannya. Maka dari itu setiap orang senantiasa berinovasi dengan kemampuan teknologis demi meningkatkan kualitas kemanusiaan. Bagi negara yang sadar akan kekuatan besar musik dan turut mendukung misi-misi senimannnya mengumpulkan bibit-bibit potensial sebagai tabungan bagi masa depan. Tidak perlu lagi mendiskusiakan kembali hal-hal sederhana ini. Kita di sini, selalu mengumbar tema-tema besar untuk menyelengarakan seminar ‘nasional’ yang menghabiskan dana besar tanpa hasil yang terasa bagi perjalanan hakiki kemanusiaan. Bukankah ini ironi?, dengan disertai kegigihan

Menyinggung Kritik Sastra dalam Kebudayaan

Menyinggung Kritik Sastra dalam Kebudayaan
            Eagleton (1996:3) dalam pengantarnya di buku The Function of Criticsme, mengungkapkan bahwa semakin kesini, kritik sastra kehilangan suptansi fungsi sosial. Bagi Eagleton, kritik sastra hanya satu dari cabang persoalan industri buku atau sekadar penghayatan dalam lingkungan perguruan tinggi. Pandangan Engleton yang hampir dua dekade lalu, sekarang terjadi di Indonesia.
            Di Indonesia fungsi sosial kritik sastra hampir jauh dari masyarakat. Kritik sastra akademik yang diproduksi ribuan mahasiswa sastra seakan berhenti di perpustakaan kampus. Boro-boro masyarakat sastra, para pengarang yang karyanya dibahas pun mungkin tidak paham apa fungsi kritik itu terhadap perkembangan karier kepenulisan mereka. Sedang kritik sastra yang muncul di media massa kebanykan resensi yang cenderung seperti promosi untuk buku sastra terkait.
            Padahal, sudah ada fakta temuan Eagleton bahwa melalui kaca mata sejarah konsep modern mengenai kritik sastra sangat erat bila dikaitkan dengan kebangkitan publik liberal borjuis abad ke-18 di Inggris. Sastra masa itu, sanggup menolong gerakan emansipasi kelas menengah sebagai alat untuk memperoleh harga diri  serta  menyampaikan tuntutan-tuntutan manusiawi melawan negara absolut dan masyarakat kasta. Eagleton menguatkan pendapatnya dengan mengutip pandangan Hohendahl bahwa pada masa pencerahan konsep kritik tidak dapat dilepaskan dari lembaga lingkup publik. Diskusi sastra yang sebelumnya berperan sebagai bentuk pengesahan masyarakat istana di dalam ruang-ruang aristokratis kemudian menjadi suatu arena rintisan bagi diskusi politik dalam kelas-kelas menengah.
            Fakta yang ditunjukan Egleton dan Hohendahl ini menelurkan pandangan bahwa (1) kritik sastra tidak hanya berupa tulisan, tetapi juga diskusi-diskusi tentang karya sastra, dan (2) fungsi dari kritik sastra tidak berhenti pada lingkup ilmu sastra saja, tetapi dapat pula menggerakkan masyarakat dan membangun kebudayaanya. Muara dari kedua fakta tersebut adalah bahwa kritik sastra dapat berasal dari sebuah peristiwa kebudayaan. Dengan demikian, siapa pun boleh mengeluarkan kritik sastra tanpa harus menuliskanya sehingga (penulisan) sejarah sastra perlu meluaskan kerjanya tidak hanya pada peristiwa-peristiwa kebudayaan, tetapi juga perlu pula menelisik sudah sejauh mana fungsi kritik sastra dalam perkembangan kebudayaaan suatu masyarakat.
Supaya mengetahui korelasi kritik sastra dan perkembangan kebudayaan di Indonesia, polemik kebudayaan yang terjadi sebelum kemerdekaan dapat menjadi titik awal kajian. Polemik kebudayaan yang mahsyur terjadi sebelum Indonesia merdeka tidak dapat dilepaskan dari adanya kritik sastra terhadap karya Sanusi Pane ynag dianggap mengagungkan budaya Timur dan karya Sutan Takdir Alisjahbana yang dianggap mewakili budaya Barat. Kritik sastra saat itu telah turut ambil bagian dalam perumusan awal bagaimana pembangunan kebudayaan di Indonesia akan dimulai.
Sejarah selanjutnya juga merekam perlakuan saling keritik antara Manikebu dan Lekra yang turut pula menggerakkan masyarakat untuk ikut merumuskan kebudayaan barunya yang lepas dari garis kekuasaan Orde Lama menuju Orde Baru. Pada posisi yang demikian tidak jelas apakah kritik sastra dimasuki atau masuk ke dalam ranah politik, tetapi secara implisit hal tadi menunjukan lahirnya gaya baru dalam kepenulisan karya sastra yang turut mempengaruhi kebudayaan masyarakat Orde Baru dalam dimensi humanisme universal.
            Pernah muncul pula perdebatan sastra kontekstual pada pertengahan dekade 1980-an. Pada peristiwa tersbeut, satra dikritik dari sudut fungsi sosialnya. Kritik ini tentu menginginkan karya sastra yang membangun kebudayaan masyarakatnya dan tidak sekedar menghibur pembacanya untuk menghabiskan waktu luang. Tercatat juga di kejadian-kejadian kebudayaan lain tempat, kritik sastra muncul dan mengambil peran penting dalam pembanguna kebudayaan, seperti merebaknya sastra sufistik yang mulai mengerakkan kaum muslim kelas menengah.
            Paparan di atas hanyalah awal lintasan persinggungan antara kritik sastra dan perkembangan kebudayaan Indonesia sebagai salah satu jalan mengetahui perkembangan fungsi kritik satra di negeri ini.
            Jelas, kajian terhadap fungsi kritik sastra yang diambil dari pristiwa kebudayaan akan melengkapi pembicaraan sastra yang selama ini hanya berasal dari media masa yang tidak dapat selalu meliput seluruh peristiwa kebudayaan dan karya-karya akademik. Apa yang tidak boleh dilupakan ketika hendak menguraikan kritik sastra dalam pristiwa kebudayaan adalah faktor kekuasaan yang melatar belakangi setiap peristiwa kebuadayaan. Pada akhirnya kajian serupa tadi dapat membedakan ke arah mana wacana yang dibangun kritik sastra selama ini untuk kebudayaan Indonesia. [] TAN FA